JUDUL: Laporan media: 250.000 anak di AS jadi yatim piatu akibat COVID-19
DATELINE: 14 Mei 2022
DURASI: 00:01:31
LOKASI: Beijing
KATEGORI: POLITIK
SHOTLIST:
1. Berbagai cuplikan tangkapan layar dari laporan American Broadcasting Company
2. SOUNDBITE 1 (Bahasa Inggris): STEPHEN NDEGWA, Dosen hubungan internasional di United States International University (USIU-Africa)
3. Berbagai cuplikan tangkapan layar dari laporan The Atlantic
4. SOUNDBITE 2 (Bahasa Inggris): STEPHEN NDEGWA, Dosen hubungan internasional di United States International University (USIU-Africa)
STORYLINE:
Amerika Serikat (AS) mencatatkan tonggak sejarah tragis setelah jumlah korban meninggal dunia akibat pandemi COVID-19 di negara tersebut mencapai satu juta orang pada Kamis (12/5).
Menurut American Broadcasting Company, lebih dari 250.000 anak di AS kehilangan orang tua atau wali utama mereka akibat COVID-19.
SOUNDBITE 1 (Bahasa Inggris): STHEPHEN NDEGWA, Dosen hubunganinternasional di United States International University (USIU-Africa)
“Akan ada begitu banyak anak yatim piatu di Amerika, suatu kondisi yang tidak perlu. Sudah pasti akan ada luka sosial, dan kita tahu beratnya perjalanan hidup yang akan dilalui anak yatim piatu. Jadi, ini benar-benar noda dalam sistem Amerika. Dan, mereka akan harus benar-benar bekerja keras untuk memastikan anak-anak ini jangan sampai menjadi ketidakcocokan sosial di masa depan.
Menurut The Atlantic, “anak yatim piatu berisiko lebih tinggi mengalami penganiayaan, putus sekolah, dan kemiskinan. Mereka berkemungkinan hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan anak yang bukan yatim piatu untuk meninggal dengan bunuh diri.”
Ndegwa menyalahkan Washington atas kesalahan penanganan penyakit COVID-19, yang pada akhirnya berujung pada tonggak sejarah suram ini.
SOUNDBITE 2 (Bahasa Inggris): STEPHEN NDEGWA, Dosen hubungan internasional di United States International University (USIU-Africa)
“Kondisi ini pada dasarnya disebabkan oleh kelalaian dan kurangnya komitmen dalam sistem pemerintahan. Sungguh ironis mengingat Amerika adalah negara paling kaya di dunia, tetapi terdampak paling parah oleh COVID-19, sedangkan banyak negara berkembang mampu mengatasi badai tersebut. Jadi, menurut saya ini hanyalah masalah prioritas. Amerika tidak melihat perang melawan pandemi ini sebagai prioritas.”
Koresponden Kantor Berita Xinhua melaporkan dari Beijing.
(XHTV)