WASHINGTON – Serangan 9/11 menewaskan ribuan warga Amerika Serikat (AS), namun “perang tak berujung” yang diletuskan AS sebagai bagian dari perang global melawan teror “jauh lebih merugikan,” kata profesor ternama dari Universitas Harvard, Joseph S. Nye.
“Kerusakan yang ditimbulkan oleh Al-Qaeda sangat tidak sebanding dengan kerusakan yang kita timbulkan pada diri kita sendiri,” kata Nye, dekan emeritus Fakultas Ilmu Pemerintahan John F. Kennedy Universitas Harvard, kepada Xinhua dalam wawancara via surel.
Menurut perkiraan, hampir 15.000 personel militer dan kontraktor AS tewas dan kerugian ekonomi akibat perang yang menyusul peristiwa 9/11 melebihi 6 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp14.266), ujar Nye. “Tambahkan juga jumlah warga sipil asing yang terbunuh serta pengungsi yang bermunculan, dan kerugiannya sangat besar.”
“Kerugian dari segi peluang juga besar. Saat Presiden Barack Obama mencoba beralih ke Asia, kawasan dengan pertumbuhan tercepat dalam perekonomian dunia, warisan perang global melawan teror membuat AS tetap terperosok di Timur Tengah,” papar Nye.
“Berbagai masalah terkait terorisme tetap ada” meski beberapa pihak mengatakan bahwa terlepas dari semua kerugian ini, AS unggul dalam perang global melawan teror karena Bin Laden dan banyak letnan tertingginya telah tewas, dan belum ada serangan teroris besar lain di tanah AS yang skalanya menyamai peristiwa 9/11, katanya.
PELAJARAN UNTUK AS
“Jika kita melihat ke depan, ketika serangan teroris berikutnya terjadi, akankah para presiden mampu memenuhi permintaan publik untuk membalas dendam dengan penargetan yang tepat, menjelaskan jebakan yang dibuat para teroris untuk kita, dan fokus menciptakan ketangguhan dalam respons warga Amerika,” ujar Nye.
“Dua puluh tahun pascaperistiwa 9/11, inilah pelajaran yang harus kita petik dan rencana yang harus kita susun,” katanya.
Sebagai sejarah kontrafaktual dari apa yang terjadi dalam 20 tahun terakhir, bayangkan bagaimana situasi dunia jika George W. Bush, yang kala itu menjabat presiden AS, menghindari seruan perang global yang menggiurkan dan merespons peristiwa 9/11 dengan secara hati-hati memilih serangan militer, dipadu dengan intelijen serta diplomasi yang baik, tutur Nye.
Atau, jika dia akhirnya pergi ke Afghanistan, bayangkan jika dia meninggalkan tempat itu setelah enam bulan, bahkan jika hal itu melibatkan negosiasi dengan Taliban, imbuhnya.
“Apa yang diilustrasikan oleh peristiwa 9/11 adalah bahwa terorisme merupakan persoalan psikologi, bukan kerusakan,” kata Nye.
Sang profesor mengaku yakin bahwa “para sejarawan di masa depan akan menganggap peristiwa 11 September 2001 sama pentingnya dengan Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.” Serangan mengejutkan Jepang terhadap Pearl Harbor itu menewaskan sekitar 2.400 personel militer AS dan menghancurkan atau merusak 19 kapal angkatan laut, termasuk delapan kapal perang.
“Namun, dalam kedua kasus ini, dampak utamanya adalah pada psikologi masyarakat,” ujar Nye.
“Serangan teroris 9/11 merupakan kejutan mengerikan bagi jiwa kita. Gambar-gambar para korban yang melompat dari menara itu tak bisa dilupakan, dan langkah-langkah keamanan yang mengganggu mengusik hidup kita,” katanya.
Selama bertahun-tahun, Presiden Franklin D. Roosevelt mencoba memperingatkan warga Amerika soal ancaman Kekuatan Poros (Axis), namun gagal mengatasi isolasionisme, dan semua itu berubah seiring terjadinya peristiwa Pearl Harbor, menurut profesor itu.
Dalam pemilihan presiden tahun 2000, George W. Bush mengusung kebijakan luar negeri sederhana dan memperingatkan soal godaan pembangunan bangsa. Namun, setelah peristiwa 9/11 yang mengejutkan, dia mendeklarasikan “Perang Global Melawan Teror” serta menginvasi Afghanistan dan Irak, papar Nye.
“Mengingat kecenderungan para pemimpin tertinggi dalam pemerintahannya, beberapa pihak mengatakan pertentangan dengan Saddam Hussein (presiden Irak saat itu) sudah bisa diprediksi, tetapi mungkin tidak dengan cara dan tingkat kerugian yang sama,” tutur Nye. [Xinhua]