WARTABUANA – Sekitar sebulan sebelum lebaran, pemerintah China me-lockdown Shanghai karena meningkatnya kasus Covid-19 varian Omicron hingga di atas 10.000. Lebaran tahun ini terasa berbeda di Shanghai.
Seperti diberitakan The Guardian dan Reuters, sekitar 26 juta warga tidak bisa beraktifitas dengan bebas. Shanghai mencatat 13.000 kasus tanpa gejala dengan 268 kasus bergejala. Lockdown dilakukan untuk melakukan pengetesan massif kepada warga.
Untuk menggambarkan situasi terkini kota Shanghai dan Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di sana selama lockdown dan saat lebaran, Anastasia, seorang guru musik di Shanghai berinisiatif menggelar “Silaturahmi Bersama WNI di Shanghai” secara virtual pada Kamis, 5 Mei 2022 lalu.
Pertemuan via zoom meeting yang di-upload di channel YouTube Nongho itu diikuti beberapa tokoh, mahasiswa dan WNI yang tinggaldi Shanghai, diantaranya; Deny W. Kurnia (Konsulat Jenderal RI di Shanghai), Indra Prahasta Ignatius (Kepala Indonesian Trade Promotion Center / ITPC Shanghai ), James Hartono (Presiden INACHAM), Aisyah (Pekerja Migran Indonesia), beberapa mahasiswa dan warga lainnya.
Anastasia yang berperan sebagai host, sangat cair menggiring obrolan sehingga mengalir santai namun berbobot. Pegiat media sosial lulusan Shanghai Conservatory of Music ini memulai acara dengan meminta tanggapan Konjen RI di Shanghai Deny W. Kurnia terkait situasi terkini kota Shanghai.
Menurut Deny W. Kurnia, meskipun kebijakan lockdown membuat orang kesulitan karena berkurangnya kebebasan berfkatifitas, namun secara umum baik-baik saja.
“Karena kebetulan puasa ini, bertepatan dengan masa lockdown di Shanghai, jadi tema utama puasa kan, maksud dari bulan ramadan adalah buat kita untuk menahan diri, sabar dan tawakal. Sehingga ya sebetulnya, bagian dari praktek untuk menghadapi keprihatinan menghadapi musibah di bulan puasa itu, ya membuat kita biasa untuk menahan diri, untuk sabar, untuk tawaka, sambil ikhtiar tentunya agar kita bisa terbebas dari kasus, karena kan ketika PCR test atau antigen ada rasa deg-degan juga, bagaimana kalau positif, kan repot. Jadi, ya ikhtiar dalam arti menjaga diri,” papar Deny W. Kurnia.
Sementara itu, Indra Prahasta Ignatius selaku Kepala ITPC di Shanghai mengungkapkan, selama masa lockdown ini, secara umum aktifitras ITPC sangat terganggu karena banyak kegiatan yang harus dipending.
“Seharusnya pada bulan Mei ini kami ada promosi dan pameran, kegiatan tersebut harus ditunda sampai akhir tahun.Kami sekarang lebih banyak menangani bisnis reguler yang bisa dilakukan secara online,” ungkapnya.
Dari sisi perdagangan, menurut Indr, Indonesia mengalami peningkatan cukup baik tiap tahunnya. Tahun lalu mencapai 100 Miliar USD. Ekspor impor pada semester pertama ini meningkat dua kali lipat dari tahun yang lalu.
“Lockdown ini akan sangat berpengaruh, karena banyak bisnis besar di China operasionalnya dilakukan dari Shanghai, sehingga banyak bisnis harus shutdown,” katanya.
Pemaparan selanjutnya disampaikan James Hartono selaku Presiden INACHAM yang sudah tinggal di Shangahi sekitar 22 tahun. Sekedar informasi, INACHAM merupakan kamar dagang resmi Indonesia di China yang memiliki fungsi sebagai wadah business networking.
James Hartono berkisah, selama 22 tahun tinggal di Shanghai, baru kali ini dirinya merasakan sesuatu yang luar biasa. “Lockdown ini luar biasa sekali, teman-teman mengalami banyak hal, ada yang lucu-lucu, ada yang aneh-aneh juga. Banyak pengusaha laki-laki jadi tukang masak. Yang awalnya tidak pernah masak, sekarang terpaksa cari kesibukan dan hiburan dengan memasak,” ceritanya.
James Hartono tidak pernah terpikir bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi dalam hidupnya. “Awalnya saya pikir Shanghai pasti aman karena majamenennya paling ketat dan paling bagus. Waduh rupanya ini luar biasam” ungkapnya.
Ada fakta miris diungkapkan Aisyah, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI). Menurutnya tidak semua pekerja migran di Shanghai menjalani vaksinasi. Hal itu terjadi karena tidak semua pekerja memegang dokumen penting sperti paspor sebagai syarat utama untuk divaksin.
Pengalaman menarik juga disampaikan beberapa mahasiswa Indonesia yang kuliah di Shanghai dan Nanjing. Selama lockdown mereka tidak bisa meninggalkan asrama. Meski demikian mereka mendapat bantuan berupa vitamin, buah-buahan dan keperluan lainnya.
Seorang ibu rumah tangga yang juga bekerja mengeluhkan harus kembali mendampingi anaknya untuk sekolah online. Namun dia merasa bersyukur karena cara sekolah online sekarang lebih tertata baik.[] /video