URUMQI, Babak baru kehidupan Wutkul Ablimit dimulai setelah dia menyelesaikan studinya di sebuah pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan setempat di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut.
“Sebelumnya, teman-teman dan keluarga saya sangat mengkhawatirkan sikap dan perilaku saya, sehingga mereka membujuk saya untuk pergi ke pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan di wilayah ini. Saya memutuskan untuk mencobanya dan pergi ke sana secara sukarela,” ujar pria 28 tahun yang berasal dari wilayah Shache di Kashgar tersebut, seraya menambahkan bahwa menengok ke belakang, dia menganggap itu keputusan yang tepat.
Pusat tersebut memberikan pelajaran bahasa Mandarin standar baik lisan maupun tulisan, pengetahuan hukum, serta pelatihan keterampilan, dan bertujuan untuk menghilangkan ide-ide radikal.
“Saya belajar tentang perdagangan elektronik (e-commerce) di pusat itu. Saya menjual beberapa produk saya sendiri secara online, dan pelanggan yang tertarik mulai menghubungi. Saya bahkan membuka toko fisik di sana dan mempekerjakan dua asisten,” katanya.
Toko kecil tersebut juga menandai babak romantis bagi Wutkul Ablimit, karena kemudian dia jatuh cinta dengan salah satu asisten tokonya dan keduanya pun menikah. Pasangan itu kini memiliki seorang bayi dan mereka menjalani kehidupan yang sangat bahagia.
Setelah lulus dari pusat pendidikan kejuruan tersebut, Wutkul Ablimit dan istrinya mendirikan sebuah pabrik yang memproduksi ember plastik, menghasilkan penjualan tahunan sekitar 3 juta yuan (1 yuan = Rp2.261).
Pendirian pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan itu merupakan langkah yang diadopsi Xinjiang untuk mengatasi ancaman terorisme dan radikalisasi. Pada Oktober 2019, semua peserta pelatihan telah menyelesaikan studi mereka. Seperti Wutkul Ablimit, mereka juga menyambut awal yang baru, dengan sebagian besar dari mereka mendapatkan pekerjaan yang stabil.
Serangan teroris pada 28 Juli 2014 di Ailixihu, sekitar 30 kilometer dari rumah Wutkul Ablimit, menewaskan 37 orang tak berdosa.
Kepolisian setempat segera mengambil tindakan setelah insiden mengerikan itu. Nurmemet Wubul, kepala daerah di kota itu, adalah salah satu petugas polisi di garis depan.
Dikatakannya bahwa kala itu banyak orang memiliki ide-ide keagamaan yang ekstrem dan tidak memiliki pendidikan yang layak. Mereka menjalani kehidupan yang suram di bawah paksaan ekstremisme keagamaan. Mereka tidak bisa menyanyi, menari, atau bekerja untuk kebahagiaan mereka sendiri, yang akhirnya menimbulkan petaka.
“Namun, serangkaian upaya bersama untuk menjaga stabilitas dan kebijakan pemerintah pusat untuk mengatur Xinjiang terbukti efektif di sini dan di seluruh Xinjiang,” tutur Nurmemet Wubul.
Perdamaian yang diraih dengan susah payah di wilayah Shache merupakan perwujudan dari kemajuan Xinjiang dalam tata kelola yang baik, dengan tanpa insiden teroris dilaporkan terjadi di daerah tersebut dalam lima tahun terakhir.
“Saya ingin mengembangkan bisnis saya, mendapatkan lebih banyak uang, dan menciptakan lebih banyak peluang kerja. Saya ingin punya lebih banyak anak, mungkin anak kedua atau ketiga,” imbuh Wutkul Ablimit. [Xinhua]