WASHINGTON – Dukungan kebijakan masih menjadi kunci untuk mempertahankan pemulihan yang tengah berlangsung dari pandemi COVID-19. Namun, para pembuat kebijakan perlu mengatasi kantong-kantong kerentanan yang meningkat demi menjaga stabilitas keuangan, ungkap Dana Moneter Internasional (IMF) pada Selasa (12/10).
“Para pembuat kebijakan dihadapkan pada opsi sulit, yaitu mempertahankan bantuan jangka pendek untuk perekonomian global sembari mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan dan risiko stabilitas keuangan jangka menengah,” kata IMF dalam Laporan Stabilitas Keuangan Global (Global Financial Stability Report) terbaru.
“Periode kebijakan finansial yang terlalu longgar dan berkepanjangan, meski diperlukan untuk mempertahankan pemulihan ekonomi, dapat mengakibatkan valuasi aset yang terlalu panjang dan memicu kerentanan finansial,” kata laporan itu.
Beberapa tanda peringatan yang mengindikasikan perburukan pada fondasi yang mendasari stabilitas keuangan adalah “meningkatnya pengambilan risiko keuangan dan meningkatnya kerentanan di sektor lembaga keuangan nonbank,” papar laporan itu.
“Jika dibiarkan, kerentanan ini dapat berkembang menjadi masalah warisan struktural, mengancam pertumbuhan jangka menengah dan menguji ketahanan sistem keuangan global,” imbuh laporan IMF lebih lanjut.
Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa perubahan mendadak dalam sikap kebijakan moneter di perekonomian-perekonomian maju dapat mengakibatkan pengetatan tajam kondisi finansial, berdampak merugikan pada arus modal, dan memperburuk tekanan di negara-negara yang menghadapi masalah debt sustainability.
“Kita sudah melihat bahwa lebih dari 50 persen negara berpenghasilan rendah memiliki kondisi utang yang tidak sustainable atau hampir tidak sustainable,” kata Tobias Adrian, penasihat keuangan dan direktur Departemen Moneter dan Pasar Modal IMF, kepada Xinhua dalam wawancara melalui video.
“Begitu banyak negara mungkin akan terdorong ke kondisi yang tidak sustainable. Dan kita akan melihat semakin banyak restrukturisasi utang di negara-negara berpenghasilan rendah,” katanya.
Meski memanfaatkan alokasi Hak Penarikan Khusus (Special Drawing Rights/SDR) umum yang lama, emerging market dan frontier market perlu membangun kembali penyangga yang sesuai, dan menerapkan reformasi struktural untuk melindungi diri dari kerusakan akibat pembalikan arus modal dan peningkatan mendadak biaya pendanaan, kata laporan itu.
Alokasi baru SDR yang setara dengan 650 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp14.218), tertinggi dalam sejarah IMF, mulai berlaku pada Agustus lalu. Sekitar 275 miliar dolar AS dari alokasi baru ini bakal tersalur ke emerging country dan negara berkembang, di mana negara-negara berpenghasilan rendah akan menerima sekitar 21 miliar dolar AS, menurut IMF.
Alokasi SDR ini muncul pada saat yang penting, mengingat banyak negara sangat membutuhkan dukungan likuiditas untuk memerangi pandemi, yang diperparah oleh penyebaran varian Delta yang lebih menular.
SDR, aset cadangan internasional yang dibuat oleh IMF pada 1969 untuk menambah cadangan resmi negara-negara anggotanya, dapat dipertukarkan antarpemerintahan dengan mata uang yang dapat digunakan secara bebas bila membutuhkannya. [Xinhua]