Sejumlah kerabat Hassan Shamalakh (69) berdiri di atas puing-puing sebuah rumah di Gaza City pada 14 Agustus 2022. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
GAZA, 15 Agustus (Xinhua) — Tak lama setelah eskalasi ketegangan di Gaza mereda, Mohammed Abu Hasira bergegas membangun kembali restoran kecil miliknya di Gaza City, yang hancur dalam gelombang terbaru ketegangan militer.
Sebelumnya pada bulan ini, wilayah kantong pesisir tersebut menjadi saksi terjadinya eskalasi ketegangan selama tiga hari antara pasukan Israel dan Jihad Islam Palestina (Palestinian Islamic Jihad/PIJ), yang menyebabkan sedikitnya 49 warga Palestina tewas dan lebih dari 350 lainnya luka-luka.
Seorang karyawan memasak di restoran milik Mohammed Abu Hasira, yang rusak akibat serangan udara Israel, di Gaza City pada 8 Agustus 2022. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Kendati Abu Hasira menderita kerugian besar dalam pengeboman yang dilancarkan Israel itu, dia tidak dapat menunggu dana yang disediakan oleh otoritas setempat untuk membangun kembali restoran miliknya karena menunggu justru akan menimbulkan lebih banyak kerugian.
Restoran “Abu Ali”, yang menunya berfokus pada hidangan laut dengan cita rasa pedas dan khas dan dimiliki oleh keluarga Abu Hasira, dianggap sebagai salah satu landmark terpenting di sektor tersebut dan destinasi wisata yang menerima puluhan pelanggan asing setiap harinya.
“Saya tidak bisa menghentikan pekerjaan saya… atau para karyawan akan kehilangan pekerjaan mereka dan keluarga mereka akan jatuh miskin,” ujar Abu Hasira.
Sejumlah karyawan memasak di restoran milik Mohammed Abu Hasira, yang rusak akibat serangan udara Israel, di Gaza City pada 8 Agustus 2022. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Sebanyak lima karyawan dipekerjakan di restoran seluas 200 meter persegi tersebut, dan masing-masing menerima upah sekitar 300 dolar AS (1 dolar AS = Rp14.727) per bulan.
“Warga Gaza mampu menghadapi beragam kesulitan karena kami meyakini ‘tidak ada keputusasaan dalam kehidupan dan tidak ada kehidupan dalam keputusasaan’,” tutur Abu Hasira, seraya mengatakan bahwa kehidupan di Gaza begitu luar biasa, dan menghadapi perkembangan yang tidak terduga di Gaza pastilah merupakan hal yang luar biasa.
Kendati demikian, tidak semua orang di Gaza mampu membangun kembali rumah mereka secara mandiri.
Kerabat Hassan Shamalakh (69) berdiri di atas reruntuhan sebuah rumah di Gaza City pada 14 Agustus 2022. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Hassan Shamalakh (69), seorang ayah dengan tujuh anak, harus tinggal di rumah kerabatnya dan menunggu pelaksanaan rekonstruksi oleh pihak berwenang.
“Tanpa peringatan apa pun sebelumnya, sepuluh anggota keluarga saya dan saya sendiri menjadi tunawisma karena rumah kami rusak berat saat pesawat tempur Israel menyerang sebuah bangunan tempat tinggal di dekat kami,” tuturnya.
Hassan Shamalakh (69) mengamati kerusakan pada rumahnya yang hancur di Gaza City pada 14 Agustus 2022. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Pria lanjut usia tersebut mengatakan bahwa dirinya masih sering kembali ke rumahnya yang telah hancur dan menghabiskan waktu di sana.
“Itu bukan hanya rumah saya, melainkan juga dunia saya yang saya bangun selama bertahun-tahun,” kata Shamalakh dengan suara bergetar.
Sebelumnya pada Agustus, gelombang ketegangan terbaru antara pasukan Israel dan PIJ merenggut nyawa 49 warga Palestina, termasuk anak-anak dan wanita, dan lebih dari 350 lainnya luka-luka, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas di Gaza.
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan di Gaza, eskalasi ketegangan baru-baru ini telah menyebabkan 22 unit rumah hancur total, 77 unit hancur sebagian, dan 1.908 lainnya tidak dapat dihuni. [Xinhua]