JAKARTA, WB – Human Right Working Group (HRWG) mengutuk keras tindakan intoleransi dan kekerasan yang terjadi di Tolikara, Papua, di saat pelaksanaan ibadah salat Idul Fitri berlangsung. Kekerasan yang terjadi merupakan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah dijamin di Indonesia.
“Peristiwa ini melukai perasaan seluruh umat beragama, menciderai bangunan toleransi di Indonesia dan melanggar hak kebebasan beragama atau berkeyakinan,” kata Direktur Eksekutif HRWG, Rafendi Djamin dalam keterangan persnya kepada Wartabuana.com, Jakarta, Selasa (21/7).
Karena itu HRWG mendesak agar aparat kepolisian mengusut tuntas tindakan tersebut, membawa semua pelaku ke proses hukum, serta memberikan jaminan tidak terjadinya kekerasan lanjutan. Kendati demikian, ia menilai bahwa kejadian ini juga tidak luput dari kegagalan Negara – pemerintah daerah dan jajaran aparat keamanan di tingkat daerah – untuk membangun sikap saling toleransi dan menghormati sesama pemeluk agama dalam menjalankan ibadah mereka masing-masing.
“Toleransi itu tidak tumbuh dengan sendiri, ia berada pada tatanan sosial masyarakat. Tokoh agama dan masyarakat kunci terbangunnya sikap tersebut. Namun di sisi lain, pemerintah di daerah memiliki kewajiban untuk memfasilitasi toleransi tersebut dan adanya dialog antar agama”, demikian Rafendi menegaskan.
Menurutnya, bila sebelumnya ada dialog yang dapat difasilitasi oleh pemerintah daerah atau kepolisian, konflik ini tidak akan terjadi. Konflik terjadi ketika ruang dialog ditutup dan massa dibiarkan menjadi brutal.
“Ditutupnya pintu dialog dan absennya negara untuk mempertemukan semua pihak yang berkonflik menjadikan konflik ini mengemuka dan memakan korban. Akibatnya, tatanan toleransi kita yang hancur,” ujarnya
Dalam kesempatan yang lain, Choirul Anam, Deputi Direktur HRWG, juga menyesalkan pendekatan pemerintah dan aparat di Papua yang masih militeristik, padahal sudah seharusnya pendekatan yang demikian ditinggalkan untuk Papua yang lebih baik.
“Mengacu pada sumber yang kami terima, bahwa sebelum pembakaran aparat sempat menembak satu orang pemuda yang kemudian menyulut kemarahan warga. Nah, seharusnya tidak demikian, aparat harus mengubah sikap mereka dalam mengahadapi orang-orang Papua. Bila tidak, konflik-konflik di Papua, termasuk dalam isu keagamaan, akan sangat sulit diatasi,” ujarnya kembali.
Menyikapi kesipangsiuran kabar yang muncul di permukaan, baik di media sosial atau media massa, Rafendi Djamin mengimbau agar masyarakat tidak mudah terpancing dan membawa sentimen agama terlalu jauh. “Faktornya jelas, ini kegagalan pemerintah untuk menjamin kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia. Tidak hanya sekali ini, di beberapa wilayah pun terjadi. Maka itu, menurutnya, Pemerintah harus betul-betul memikirkan upaya konkret agar semua umat beragama dapat menjalankan ibadahnya secara damai dan bebas, serta memastikan kekerasan seperti di Tolikara tidak terjadi,” beber dia.
Demikian halnya Choirul Anam, “Ini bukan ajang saling tuding atau saling serang, apa lagi membalas dendam. Tindakan ini jelas, melanggar HAM. Bahkan, Pemerintah juga bisa terindikasi turut serta karena gagal untuk membangun dialog antarumat beragama yang seharusnya dapat mencegah terjadinya pembakaran dan konflik lebih besar”, tegasnya. []