JAKARTA, WB – Dunia sedang dikejutkan dengan fakta masih masifnya penerapan hukuman mati di sejumlah kecil negara. Amnesty Internasional (AI) dalam laporan tahunan khusus untuk hukuman mati mencatat, tahun 2015 adalah tahun paling kelam selama dua puluh lima tahun terakhir.
“Fakta ini cukup mencengangkan mengingat, dunia sebenarnya tengah berupaya untuk berpaling dari hukuman mati. Hal ini ditunjukkan dengan fakta tren peningkatan dukungan negara-negara atas Resolusi PBB tentang “Moratorium Penggunaan Hukuman Mati” sejak tahun 2007. Saat ini hanya 24 negara Anggota PBB yang masih menerapkan hukuman mati.” demikian keterangan yang disampaikan Koalisi ICA-DP, Jakarta, Rabu (13/4).
Masih menurut Amnesty International, Pakistan, Iran dan Arab Saudi adalah tiga negara yang menyumbang 90 persen (tidak termasuk Tiongkok) jumlah seluruh eksekusi mati di seluruh dunia tahun lalu. Pakistan membawa 320 orang ke tiang gantungan, Iran mengeksekusi 977 orang (termasuk 4 orang anak di bawah umur 18 tahun) dan Arab Suadi memancung 158 orang.
Sementara, Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-JK “menyumbang” 14 orang yang dieksekusi karena kejahatan narkotika. Walaupun eksekusi mati di dunia meningkat, namun terdapat sejumlah negara yang telah menghapus hukuman mati di dalam sistem hukum mereka.
Setidaknya pada tahun 2015 ada empat negara yang secara resmi menghapus hukuman mati, yakni Madagaskar, Fiji, Kongo dan Suriname. Bagaimanapun juga, kecenderungan negara-negara dunia internasional untuk menghapus hukuman mati dalam sistem hukum mereka tetap tinggi karena menyakini bahwa hukuman mati bertentangan dengan nalar kemanusiaan secara global dan bukan merupakan solusi untuk memerangi kejahatan.
Fakta ini kian memprihatinkan, khususnya bagi Indonesia yang ditengarai tengah menyiapkan diri untuk melakukan eksekusi gelombang ketiga –masih di dalam semangat perang terhadap kejahatan narkoba yang salah kaprah. Seperti kita saksikan bersama sepanjang tahun ini bahwa perang melawan narkoba adalah memerangi korupsi di kalangan aparat penegak hukum sendiri.
Di dalam konteks ASEAN –yang saat ini tengah memasuki era Komunitas ASEAN, semua negara kecuali Filipina dan Kamboja, masih mempertahankan hukuman mati dalam hukum nasionalnya. Brunei Darussalam dan Laos termasuk kategori abolisionis de facto; yaitu belum menghapus hukuman mati tapi tercatat tidak melaksanakan hukuman mati selama bertahun-tahun.
Sementara Mynamar, seiring dengan proses demokratisasi yang sedang berlangsung telah mengubah status terpidana mati menjadi hukuman seumur hidup atau yang lain.
Koalisi masyarakat sipil Indonesia untuk penghapusan hukuman mati atau (Indonesia Coalition on the Abolition of Death Penalty—disingkat ICA-DP) yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil yang selama ini mengadvokasi kasus-kasus hukuman mati di Indonesia merespon keprihatinan global ini dengan mengajak publik luas, baik di Indonesia dan seluruh Negara
ASEAN untuk bersama-sama bekerja menyuarakan dan mengupayakan penghapusan hukuman mati.
Koalisi mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi di tubuh peradillan, khususnya memberi hak untuk peradilan yang adil dan layak sesuai dengan standar hukum internasional. Peradilan yang tidak adil, ketidakpatuhan terhadap jaminan pembelaan minimum bagi tersangka kejahatan yang terancam pasal hukuman mati, atau pelanggaran hak untuk peninjauan kembali dapat menghasilkan salah putusan terhadap orang yang tak bersalah.
Pada kasus hukuman mati, hal ini jelas fatal dan menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Koalisi menliai hukuman mati adalah pelanggaran terhadap komitmen dan partisipasi Indonesia di dalam pergaulan internasional di mana dunia saat ini menuju pada peradaban yang melarang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Terlebih, Indonesia sejak tahun 1998 telah menjadi negara pihak konvensi antipenyiksaan.
Koalisi juga ingin mengingatkan Pemerintah Indonesia atas dampak eksekusi mati terhadap anak-anak terpidana mati. Penelitian menunjukkan sejumlah pengaruh jangka pendek dan panjang pada anak-anak yang orangtuanya divonis mati.
Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asazi anak yang dijammin dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak, terutama kewajiban negara untuk memastikan bahwa kepentingan anak telah dipertimbangkan dan dilindungi (pasal 3) dan hak untuk bebas dari kekerasan (pasal 19).
Pemerintah Indonesia harus memperhatikan kecenderungan global yang menghapus hukuman mati dalam sistem hukum mereka, jika tidak hal ini tentu akan berpengaruh terhadap pergaulan Indonesia di dunia internasional yang semakin menghormati nilai universal kemanusiaan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Indonesia beberapa waktu lalu telah memberikan dampak negatif pada hubungan bilateral, internasional, baik secara ekonomi dan politik negara Indonesia.
Hukuman mati adalah bentuk pembantaian umat manusia yang diintrodusir dan dilegalkan oleh negara. Maka dari itu, hukuman mati harus dihapuskan. []