JAKARTA, WB – Peneliti for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T. Napitupulu memaparkan posisi Indonesia dalam dunia internasional. Dikatakannya pada November 2015 Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan, mengindikasikan pemerintah akan menunda eksekusi dalam waktu dekat. Namun, Jaksa Agung terus mengumumkan eksekusi akan dilanjutkan di 2016 dan ia telah mengalokasikan anggaran di anggaran pemerintah tahun 2016 untuk eksekusi baru.
“Pengadilan menjatuhkan setidaknya 46 vonis mati baru, peningkatan tajam dibanding 2014, ketika hanya enam vonis mati tercatat. Meningkatnya pemberian vonis mati ini sangat menggangu dalam konteks pelanjutan eksekusi. Dari vonis mati yang baru diberikan di 2015, 29 terkait pelanggaran obat-obatan terlarang dan 17 untuk pembunuhan. Setidaknya 165 orang berada dalam vonis hukuman mati pada akhir tahun. Pihak berwenang terus secara aktif membela warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri,” ujarnya lewat keterangannya, Jakarta, Kamis (14/4).
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengindikasikan pada Februari 2016 sekitar 229 warga Indonesia terancam dieksekusi di luar negeri. Menurut informasi yang dibagikan menteri kepada media nasional, beberapa kasus terkait peredaran obat-obat terlarang, terutama di Malaysia, dan
pekerja migran perempuan dituduh membunuh majikannya, dalam kasus yang tampak seperti pembelaan diri ketika hendak diperkosa. Mayoritas warga Indonesia yang terancam dihukum mati di luar negeri ialah di Arab Saudi. (Laporan Global Amnesty Internasional) Catatan Internasional juga menyebutkan bahwa ada pelaku kejahatan anak-anak yang menunggu hukuman mati di Indonesia. Selain itu Indonesia juga menggunakan data yang dianggap tidak valid terkait jumlah kematian tiap hari pengguna nartkotika yang dijadikan dasar eksekusi mati.
Terkait RKUHP ICJR menekankan bahwa RKUHP belum sepenuhnya mampu untuk mengurangi kecenderungan eksekusi mati di Indonesia. Pengaturan RKUHP meskipun terlihat lebih lengkap dan rinci, namun tetap menunjukkan keengganan untuk mengarahkan eksekusi mati menjadi pembinaan sebagaimana diharapkan dalam tujuan pemidanaan di Indonesia. Syarat untuk menurunkan pidana mati menjadi seumur hidup di RKUHP tidak memiliki indikator jelas.
Selain itu, Indonesia tidak memiliki definisi legal dari kejahatan luar biasa yang dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dikategorikan sebagai tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana mati. Persebaran tindak pidana yang diancam pidana mati di Indonesia didasari pada alasan dan keadaan politis dalam pembentukannya di DPR, dengan kata lain, Indonesia tidak memiliki aturan terlebih lagi indikator dalam menentukan apakah sebuah tindak pidana dapat atau tidak diancam dengan pidana mati.
Kemudian perbuatan yang Membahayakan Keselamatan Penerbangan. Setidaknya ada 26 pasal yang memuat ancaman pidana mati. Apabila batu ujinya adalah ketentuan hukum internasional yang memberikan persyaratan ketat tindak pidana apa saja yang bisa dikenakan pidana mati, maka lebih dari setengah tindak pidana dalam RKUHP tidak memenuhi standar sebagai tindak pidana yang dapat dikenai pidana mati. Sebut saja RKUHP yang masih mengatur pidana mati bagi kejahatan narkotika dan psikotropika, tindak pidana korupsi, kejahatan penerbangan, dan beberapa tindak pidana lainnya.
Ancaman pidana mati terhadap beberapa tindak pidana di RKUHP juga tidak jelas mengenai indikator penetapannya apakah berdasarkan dampak kejahatan atau lebih dikarenakan melihat tingkat keseriusan kejahatan (gravity of the crimes). Di samping itu juga terlihat tidak adanya
konsistensi dalam menentukan kategori penetapan ancaman hukuman mati. Pengaturan seperti ini menunjukkan Indonesia tidak konsisten terhadap kebijakan luar negerinya, dalam hal tunduk pada beberapa ketentuan Internasional semisal Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Selain itu, Indonesia juga gagal dalam memastikan adanya sinkronisasi antarpasal dalam RKUHP, bahwa pidana mati akan dilakukan secara ketat dan selektif. []