JAKARTA , WB – Menjalin hubungan bilateral terus terjaga antara negara serumpun Malaysia dan Indonesia. Kini hubungan tersebut kembali terbina yang kali ini lewat workshop puisi esai yang dimulai dari tanggal 21 hingga tanggal 24 April 2018.
Dalam workshop tersebut, sepuluh penyair Indonesia dan Malaysia berjumpa di Sabah, Malaysia. Mereka melakukan diskusi menuliskan dinamika hubungan kedua negara, Indonesia – Malaysia dalam sepuluh puisi esai.
Dari Indonesia, penyair yang terlibat Dhenok Kristianti, De Kemalawati, Fanny Jonathan Poyk, Isbedy Stiawan ZS, Hari Mulyadi.
Sedangkan penyair dari Malaysia yang ikut program adalah Datuk Jasni Matlani, Siti Rahmah Ibrahim, Hasyuda Abadi, Abdul Karim Gullam, Jasni Yakub.
Program ini lahir atas inisiatif Fatin Hamama dan Datuk Jasni Matlani. Ikut serta dalam workshop adalah Ahmad Gaus yang memberi panduan soal sejarah lahirnya puisi esai, kekhususan dan karakternya.
“Kita menyambut baik inisiatif para penyair untuk merekatkan kembali hubungan dua negara melalui puisi esai ini,” ujar Denny JA selaku penggagas puisi esai.
Denny menambahkan, dalam survei LSI 2015, Malaysia menjadi satu dari tiga negara yang paling dibenci publik Indonesia, di samping Israel dan RRC. Ini tak lepas dari pemberitaan emosional media massa soal konflik perebutan pulau, klaim soal kepemilikan budaya dan kisah penyiksaan TKI. Disisi lain seruan Bung Karno di tahun 1963 Ganyang Malaysia, masih bergema.
“Saatnya ikatan batin dua negara direkatkan kembali. Jokowi selaku Presiden Indonesia sudah berjumpa PM Malaysia Najib Razak, di bulan November 2017. Kembali dibina hubungan dua negara bidang politik dan ekonomi,” ujarnya.
Namun lanjut Denny, hubungan batin Indonesia dan Malaysia terlalu luas dan penting jika hanya diserahkan kepada pemerintah. Terlalu luas dan penting pula hubungan dua negara serumpun itu jika hanya soal politik dan perdagangan.
“Oleh karena itu, saya menyambut baik upaya mengikatkan kembali batin Indonesia- Malaysia melalui sastra, khususnya puisi esai. Ini program yang sekali mendayung, dua pulau terlampaui,” katanya.
Budayawan yang sekaligus analis politik ini menambahkan, program ini memperkaya upaya menjalin hubungan dua negara, tapi oleh civil society. Juga kerja sama dibina di arena budaya. Masih kata Denny, karakter puisi esai memang punya fasilitas tersebut. Dimana puisinya panjang, ada drama di dalammya. Ada pula catatan kaki untuk memasukkan aneka data, atau sumber informasi yang diperlukan. Batin hubungan dua negara akan leluasa diekspresikan melalui puisi esai.
“Beberapa draft puisi esai yang sempat saya baca. Ada kisah tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Ada kisah soal klaim budaya Indonesia yang diakui milik Malaysia. Ada pula refleksi hubungan Indonesia Malaysia sejak konfrontasi era Soekarno.
Setelah Malaysia, para penyair Singapura Thailand dan Brunei juga sedang menjajaki menuliskan isu sosial di negaranya,” tandas Denny.[]