JAKARTA, WB – Selama Indonesia masih ada, keberadaaan Pancasila sebagai ideologi bangsa tetapi menarik untuk didiskusikan. Apalagi belakangan ini, keberadaan Pancasila itu seolah dilupakan, padahal Pancasila merupakan solusi dari semua persoalan bangsa.
Terkait kondisi bangsa sekarang ini yang sepertinya kehilangan jati diri dan ‘terjajah’ tanpa disadari, Aliansi Kebangsaan bersama para cendikia membahas pemasalahan model pembangunan berbasis ideologi.
Diskusi yang digelar Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (23/9/2016) itu dihadiri para pembicara seperti Prof. DR. Didin S Damanhuri, Guru besar Ekonomi-Politik IPB, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Dr. Saafroedin Bahar, Yudi Latief, Ph.D dan Pontjo Sutowo selaku Ketua Aliansi Kebangsaan.
Sebagai narasumber pertama yang bicara, Prof. DR. Didin S Damanhuri mengatakan, keberhasilan Indonesia dalam mengimplementasikan Pancasila baru sebatas mengkonsolidasikan negara dalam politik keamanan untuk perang melawan musuh. Seperti, menumpas pemberontakan PKI, menyelesaikan RMS dan GAM.
“Namun, Indonesia belum berhasil sepenuhnya berhasil mengimplementasikan Pancasila dalam demokrasi politik, dalam menegakkan supermasi hukum. Pancasila Sebagai Nilai Dasar Dalam Acuan Perumusan Kebijakan Negara,” ujar Didin.
Sementara itu, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri menyikapi kondisi ancaman dalam hal keamanan dan ketahanan nasional baik yang datang dari luar, berupa ideologi transnasional dan hegemoni asing/global, serta terorisme, maupun yang datang dari dalam negeri sendiri, seperti fundamentalis, merosotnya rasa kebangsaan dan nasionalisme, serta terkikisnya toleransi dan sikap gotong royong di masyarakat.
“Ideologi Pancasila masih akan tetap menjadi benteng dari ancaman yang datang dari dalam dan luar. Ancaman paling aktual saat ini adalah ideologi transnasional dan hegemoni global,” jelas Kiki.
Menurut Kiki, ada dua negara saat ini yang menjadi ancaman nyata terkait ideologi transnasional dan hegemoni global, yaitu China dan AS. “Secara militer, China memang bukan ancaman buat Indonesia, tapi secara ekonomi dan kependudukan, merupakan ancaman. China masuk biasanya dengan cara memberikan bantuan,” ungkapnya.
Selanjutnya menurut Kiki, China akan ‘memaksa’ negara penerima bantuan untuk mempekerjakan rakyat China dalam proyek pembangunan yang menggunakan dana bantuannya. Saat ini populasi penduduk di China sudah overload. Mereka harus “mengekspor” sekitar 250 juta rakyatnya ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Yudi Latief, Ph.D yang hadir sebagai moderator menyimpulkan, persoalan pembangunan karakter bangsa menjadi sangat penting di era globalisasi saat ini. “Karakter bangsa memiliki fungsi ekonomi dan politik. Contoh Denmark, yang indeks kebahagiaannya tertinggi di dunia, ternyata dalam pendidikan mereka, nilai kejujuran merupakan hal yang paling ditekankan,” jelasnya.
Di tempat yang sama, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo justru merasa heran selama ini dalam proses demokrasi pemilihan kepala daerah hingga presiden kita seperti sudah menentukan kriteria.
“Padahal sangat simple dan sudah ada selama ini, cukup cari calon pempimpin yang pancasialis. Jika sesorang sudah menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sehari-hari, sudah pasti dia sangat layak menjadi pempimpin bangsa dan kepala daerah,” ujar Pontjo. []