JAKARTA, WB – Saat ini, bentuk pertahanan suatu negara telah beralih dari pertahanan militer ke pertahanan non militer untuk menghadapi perang modern yang biasa disebut proxy war. Meski tidak mematikan, namun prosy war bisa membuat suatu negara lenyap.
Materi tersebut menjadi pembahasan hangat dan menarik saat di diskusi serial kedua di JCC, Senayan, Jakarta, Sabtu (6/5/2017) dengan tema: “Menggalang Ketahanan Nasional Untuk Menjamin Kelangsungan Hidup Bangsa”.
Dalam DPS kali ini hadir Pembina YSNB, Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Ketua Umum FKPPI Pontjo Sutowo, Ketua Penyelenggara DPS Iman Sunario, dan para narasumber yaitu Mayjen (Purn) I.G.K. Manila, Brigjen (Purn) Dr. Saafroedin Bahar, dan Laksda TNI (Purn) Robert Mangindaan.
Menurut Pontjo, pada saat ini, titik berat pertahanan telah beralih dari pertahanan militer ke pertahanan non militer. Perang dimana invasi, agresi, dan serangan militer konvensional hampir dapat dikatakan jarang terjadi. Perang telah berubah menjadi perang modern yang non konvensional dan halus serta tidak terasa.
“Perang modern itu saat ini disebut proxy war. Namun sekalipun sebagai perang non konvensional, ia tetap mampu membuat suatu negara lambat laun akan takluk dan kehilangan kendali atas negaranya,” ujarnya.
Menurut Pontjo, serangan militer konvensional untuk 10-15 tahun ke depan diperkirakan tidak akan terjadi, diganti dengan non militer. Perang yang tengah terjadi tersebut menggunakan konsep senjata baru. Senjata baru tersebut adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Seperti misalnya perdagangan, cyber, dan moneter.
I.G.K Manila, sangat menyayangkan jika Indonesia belum mempersiapkan diri menghadapi perang tanpa senjata ini, padahal sudah menjadi ancaman nyata. Dia mencontohkan bagaimana suatu wilayah di Indonesia hilang akibat adanya serangan kekuatan ekonomi.
Misalnya saja hilangnya 10 pulau kecil disekitar Pulau Durian dan Combol di Kepulauan Riau (Kepri). Hilangnya pulau-pulau tersebutsebagai akibat adanya reklamasi Singapura yang menambah luas wilayah daratannya dari semula 527 km persegi sampai tahun 1999 menjadi 660 km persegi.
“Sekalipun sebagai ancaman nyata, UU Hankam yang seharusnya mampu menangkal serangan proxy war seperti kasus tersebut, tenyata belum ada. Kini Indonesia menjadi sasaran empuk atas proxy war. Ini seharusnya segera diatasi bersama utamanya oleh pemerintah. Karena itu UU Hankam yang mampu mengelola pengaruh proxy war harus segera dibuat dan diterapkan,” kata Manila.
Sementara itu menurut Saafroedin Bahar, timbulnya perang modern mengharuskan bangsa ini melakukan peninjauan kembali terhadap doktrin, strategi, taktik, dan institusi dalam bidang pertahanan keamanan. Dalam peninjauan itu, Angkatan Perang perlu berada di lini kedua. Sementara itu Kepolisian Negara Republik Indonesia, kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian, serta organisasi kemasyarakatan, berada di lini pertama.
“Dalam peninjauan itu, perlu juga diefektifkan landasan hukum untuk keterpaduan tugas, hak, wewenang, dan tanggung jawab lembaga kepresidenan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sangat disayangkan hingga saat ini UU Lembaga Kepresidenan Indonesia belum juga ada. Padahal keberadaan UU Kepresidenan itu akan mampu membuat garis tegas eksistensi bangsa ke depannya,” kata Saafroedin Bahar.
Di tempat yang sama, Robert Mangindaan menyatakan jika dunia pada saat ini sebenarnya telah masuk ke dalam kategori perang generasi keempat. Perang generasi keempat adalah perang yang menggunakan hytech, semakin mematikan, dan berdurasi singkat.
Dan dalam perang generasi keempat itu, sangat disayangkan Indonesia gagal mencegah Psycho Cultural Warfare, Media Warfare, dan Legal Warfare, yang dibidik oleh negara lain khususnya China. Sebagai contohnya Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang harus menyebut China dengan Tiongkok dalam perundang-undangannya, pada saat ini.
“Demikian parahnya kondisi Indonesia saat ini, tidak bisa tidak Indonesia sangat memerlukan Critical Mass untuk menghadapinya. Critical Mass adalah masyarakat yang memiliki kesadaran, kepedulian, dan nasionalisme dan sebagainya untuk menangkis proxy war. Jangan sampai kita palah menjadi bagian dari agen kepentingan asing,” tegas Mangindaan. []