JAKARTA, WB – Mahasiswa program Doktoral dari University of Twente Hero Marhaento berpandangan bahwa reklamasi bukanlah solusi bagi Jakarta. Karena untuk memperbaiki lingkungan hidup di Jakarta perlu rehabilitasi bukan reklamasi.
“Sebuah ironi proyek Reklamasi Teluk Jakarta dan Giant Sea Wall yang dibantu oleh perusahaan dan konsultan asal Belanda. Pasalnya, di Belanda sendiri, jelas kandidat doktoral di bidang Water Engineering ini, pendekatan hard infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul besar semacam itu sudah lama ditinggalkan,” kata Hero.
“Yang membuat saya heran mengapa di saat pembangunan di Belanda sendiri mulai meninggalkan konsep-konsep konvensional berupa hard-infrastructure seperti pembuatan tanggul raksasa atau reklamasi pulau, para pakar dan konsultan Belanda malah menyarankan pembuatan Giant Sea Wall bagi masalah banjir Jakarta,” imbuh Hero dalam diskusi “Reklamasi Teluk Jakarta” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda bekerja sama dengan PPI Kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di Kampus International Institute of Social Studies, Den Haag, belum lama ini.
Edwin Sutanudjaja, seorang post-doktoral di bidang Hidrologi dari Utrecht University, juga berpendapat senada. Edwin membantah argumentasi bahwa proyek reklamasi dan pembuatan Giant Sea Wall ini dapat menjawab persoalan banjir dan penurunan permukaan tanah di Jakarta. Ia mengungkapkan bahwa penurunan muka tanah Jakarta justru disebabkan oleh pembangunan di Jakarta yang tidak terkendali. “Pembangunan mall dan properti dilakukan dimana-mana, jadi solusinya bukan reklamasi melainkan pengendalian pembangunan,” ujar Edwin.
“Akar masalahnya adalah sentralisasi Jakarta dan urbanisasi. Semua orang berlomba-lomba ingin ke Jakarta, inilah yang membuat pembangunan Jakarta tidak terkendali,” tambahnya.
Selain itu, dalam paparannya Edwin juga mengkhawatirkan jika nantinya Teluk Jakarta justru akan menjadi septic tank raksasa. Membuat tanggul raksasa artinya membendung air dari 13 anak sungai di Jakarta yang bermuara ke perairan mati. “Jika kualitas air tidak bisa dijaga justru nantinya perairan Teluk Jakarta akan menjadi pembuangan akhir yang sangat kotor,” tandas Edwin. []