JAKARTA, WB – Tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi ke depan, kata Peneliti pada Divisi Kajian Hukum Tata Negara, Imam Nasef, perlu diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Saat ini ketentuan mengenai hal itu diatur secara internal oleh masing-masing lembaga yang mengajukan yaitu Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diamanatkan Pasal 20 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
“Dalam prakteknya, ada indikasi peraturan internal dimaksud baik berupa Perpres, Perma, maupun Peraturan DPR tidak pernah dibuat oleh ketiga lembaga tersebut, sehingga seringkali prosesnya menimbulkan kontroversi di masyarakat, seperti yang terjadi pada seleksi hakim konstitusi oleh Presiden dan MA beberapa waktu lalu,” tulis Imam lewat pesan singkatnya, Selasa (13/1/2015).
Ia menuturkan, ada empat alasan penting mengapa tata cara seleksi hakim konstitusi perlu diatur dalam UU MK. Pertama, untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam proses seleksi hakim konstitusi. Kata dia, adanya kepastian hukum itu tidak hanya dapat meminimalisir potensi terjadinya polemik di masyarakat, tetapi juga dapat memberikan jaminan kepada para calon hakim konstitusi untuk diperlakukan secara adil dalam proses seleksi.
Kedua, kata Imam, agar ada keseragaman mengenai tata cara seleksi hakim konstitusi. Adalah aneh ketika kualifikasi seorang hakim konstitusi itu sama, tetapi mekanisme seleksinya berbeda.
“Seleksi itu kan salah satu tujuannya untuk menguji apakah calon-calon hakim konstitusi memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam UU MK atau tidak. Nah, mengingat syarat-syarat yang ditentukan itu sama, maka idealnya tata cara seleksi di ketiga lembaga pengusul itupun seragam,” ujarnya.
Yang ketiga, lanjut dia, walaupun pemilihan hakim konstitusi itu menjadi hak prerogatif Presiden, MA, dan DPR, akan tetapi sebagai penyelenggara negara ketiga lembaga tersebut wajib tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, seperti transparansi, profesionalitas, partisipasi, dan akuntabilitas.
“Untuk memastikan terpenuhinya asas-asas itu, maka sebaiknya tata cara seleksi hakim konstitusi secara operasional diatur dalam level UU,” paparnya.
Dan yang terakhir atau keempat lanjut Imam, untuk meningkatkan legitimasi publik terhadap calon hakim konstitusi terpilih. Semakin tinggi legitimasinya, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan publik ke MK. Legitimasi itu akan meningkat apabila proses seleksinya mengindahkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
“Harus diakui proses seleksi kedua hakim konstitusi terpilih itu sempat menuai kontroversi, terutama Suhartoyo karena proses seleksi di MA terkesan sangat eksklusif, selain juga karena Suhartoyo masih dalam proses penyelidikan dugaan pelanggaran kode etik oleh Komisi Yudisial (KY), sehingga publik sangat menyayangkan,” tandas Imam.[]