JAKARTA, WB – Pemberian Bebas Bersyarat kepada Urip Tri Gunawan, terpidana 20 tahun perkara suap penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menimbulkan tanda tanya besar di kalangan pegiat antikorupsi dan ahli pidana.
Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sangat janggal dan mencurigakan, apalagi Urip dianggap belum genap dua pertiga melalui masa hukuman. “Ini tidak masuk akal. Apa pertimbangan terpidana kasus korupsi besar bisa bebas bersyarat bahkan sebelum menjalani separuh dari masa hukumannya,” ujar peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter Kaban, Minggu (14/5/2017).
Sebagaimana diketahui, pada Jumat, 12 Mei 2017, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan status bebas bersyarat kepada Urip. Mahkamah Agung menguatkan putusan 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta terhadap Urip karena menerima suap sebesar US$ 660 ribu dari Artalyta Suryani, orang dekat obligor BLBI Sjamsul Nursalim.
Menurut Lalola, dalam penjelasan Pasal 12 huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diatur status bebas bersyarat bisa diberikan hanya kepada narapidana yang sudah menjalani dua per tiga masa hukuman.
Selain itu, narapidana tersebut harus memperoleh predikat berkelakuan baik minimal selama sembilan bulan terakhir sebelum tanggal pembebasan bersyarat. Berdasarkan aturan ini, Urip belum genap menjalani separuh masa hukuman penjaranya yang seharusnya berakhir pada 2028.
Pengamat hukum pidana, Agustinus Pohan, menilai perlakuan pemerintah terhadap Urip istimewa. Menurut dia, seorang terpidana yang telah menerima banyak remisi tak selayaknya mendapat pembebasan bersyarat. Apalagi, dia mengingatkan, jenis kasus yang menjerat Urip termasuk kejahatan khusus oleh aparat penegak hukum.
Agustinus mempertanyakan alasan pemerintah memberikan total remisi lima tahun kepada Urip, hanya dalam kurun sembilan tahun masa hukuman penjara. Menurut dia, seorang terpidana dalam satu tahun hanya menerima dua kali remisi, yaitu perayaan keagamaan dan hari kemerdekaan. Potongan masa hukuman itu pun hanya sekitar dua bulan.
“Pemerintah harus memperketat dan memperjelas berapa remisi yang layak. Apa juga kriterianya. Jangan sampai semua orang bisa menerima remisi tanpa batasan,” kata Agustinus.
Selama menjalani masa bebas bersyarat Urip dilarang bepergian ke luar negeri. Larangan itu tertuang dalam Permenkumham Nomor 21 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Permenkumham Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB).
Selain dilarang bepergian ke luar negeri, Urip tidak boleh melakukan tindak pidana lain. Bila terindikasi melakukan kejahatan, maka pembebasan bersyaratnya akan dicabut.
Selain itu, Urip juga diwajibkan melapor ke Balai Pemasyarakatan Surakata, Solo, Jawa Tengah setelah bebas. Bila tidak melapor berturut-turut sebanyak tiga kali, Urip terancam dicabut pembebasan bersyaratnya.[]