Oleh : J Kristiadi
SALAH satu karya monumental bangsa Indonesia dalam membangun tatanan kekuasaan yang berkedaulatan rakyat adalah memadukan antara demokrasi dan tradisi aristokrasi. Kedua fenomena yang secara filosofi berseberangan itu dapat membaur dalam wujud tata kelola pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menautkan perangkat nilai-nilai yang secara diametral bertentangan adalah tidak mudah. Diperlukan jiwa besar dan niat luhur semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat sipil, untuk menyamakan persepsi sehingga melahirkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tugas berat tetapi mulia ini sebagian besar dipikul oleh Sultan Hamengku Bawono X sebagai tokoh sentral, baik karena kedudukan formalnya sebagai gubernur maupun posisinya sebagai raja. Dalam mengelola pemerintahan, Sultan HB X diharapkan dapat menyinergikan antara nilai-nilai adiluhung aristokrasi dan rasionalitas publik yang menjadi basis tatanan kekuasaan yang demokratis.
Tugas dan tanggung jawab tersebut di respons dengan sangat antusias oleh Sultan HB X sebagaimana dipaparkan dalam visi, misi, dan program calon gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012-2017 pada Rapat Paripurna DPRD DIY, 21 september 2012.
Intinya, Sultan HB X bertekad membangkitkan kembali Peradaban Unggul Yogyakarta dan Nusantara melalui Renaisans Budaya yang memuat landasan idiil-filosofis Hamemayu-Hayuning Bawono, yang secara konseptual mengatur harmoni hubungan dan tata laku antar-sesama rakyat, antara warga masyarakat dan lingkungan, serta antara insan dan Tuhan Yang Maha Pencipta dengan mengacu pada undang-undang yang berlaku.
Namun, memadukan tradisi aristokrasi dan demokrasi bukan urusan yang sederhana. Kendala utama adalah mengenai konsep dan sumber kekuasaan aristokrasi yang didasarkan atas ”wahyu” dan keturunan dengan konsep dan sumber kekuasaan demokrasi yang didasarkan ideologi sebagai hasil dari pemikiran yang rasional.
Oleh karena itu, agar asas demokrasi dan prinsip kedaulatan rakyat sejalan dengan nilai-nilai aristokrasi, Pasal 43 UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, menugaskan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, antara lain, pertama, melakukan penyempurnaan dan penyesuaian peraturan di lingkungan (/paugeran/ internal) kasultanan dan kadipaten. Kedua, mengumumkan kepada masyarakat hasil penyempurnaan dan penyesuaian peraturan itu.
Dalam melaksanakan tugas UU itu, Sultan HB X mengeluarkan sabda sebagai /dhawuh/ kepada para kerabat keraton. Dalam perspektif tradisi keraton, /dhawuh/ datang melalui bisikan (wangsit), dapat pula berupa /sasmito/ (isyarat) dari para leluhur yang harus ditaati. Kemampuan menangkap /dhawuh /diperoleh sebagai hasil sinergi antara ketajaman intuisi, olah batin, dan olah rasa yang dilakukan terus-menerus.
Oleh karena itu, sabda tidak dapat dibantah dan hanya dapat dilaksanakan serta tidak diperdebatkan, terlebih kalau melulu mengandalkan rasionalitas. Sabda tersebut adalah: (1) kata Buwono menjadi Bawono; (2) Gelar Khalifatullah dihilangkan; (3) kata /kaping Sedoso/ diganti menjadi /kaping Sepuluh/; (4) Mengubah Perjanjian pendiri Mataram antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan; (5) menyempurnakan Keris Kiai Ageng Kopek dengan Kiai Ageng Joko Piturun.
Sementara itu, perspektif publik dan sementara anggota kerabat keraton melihat dari sisi rasional. Wajar jika sabda sulit mereka pahami dan memicu kontroversi. Sebagian publik khawatir sabda tersebut justru dapat memerosotkan wibawa keraton. Namun, tidak sedikit sepaham, sabda dianggap bagian dari reformasi /paugeran/ keraton karena tuntutan modernisasi dan perintah UU.
Namun, yang lebih memprihatinkan beberapa adik Sultan HB X melakukan perlawanan meskipun hal itu dilakukan dengan sangat hati-hati dan santun. Mungkin mereka menganggap sabda Sultan HB X berkorelasi dengan suksesi internal keraton.
Kecurigaan bertambah besar dosisnya setelah Sultan HB X mengganti nama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. Secara tradisional sebutan tersebut diperuntukkan bagi ”Putra Mahkota”. Namun, Sultan XB X menegaskan dengan pergantian nama itu belum tentu putri sulungnya akan menggantikan dirinya.
Oleh karena itu, agar kontroversi sabda mereda dan tidak menjadi bola liar serta tidak menjadi tontonan yang tidak sedap bagi publik, seyogianya reformasi /paugeran/ dilakukan secara terbuka dan melibatkan secara aktif para kerabat keraton. Masyarakat merasa malu kalau para panutannya yang berpegang tradisi keutamaan adiluhung bertengkar, terutama kalau memperebutkan kedudukan.
Agar reformasi /paugeran/ yang merupakan bagian dari keistimewaan yang dilandasi oleh cita-cita mulia, para pemimpin hendaknya selalu mengingat /pitutur luhur /agar terbebas dari: (1) godaan mengejar pangkat untuk sarana memuas kekuasaan, /klubuking iwak ing kedhung/ (menggeleparnya ikan di kolam); (2) harta kekayaan, /kencringing ringgit/ (gemerincingnya uang ringgit), serta (3) godaan wanita, /gebyaring wentis kuning /(berkilaunya betis kuning).
Berbekal niat mulia serta ajaran luhur para leluhur serta waspada terhadap godaan di atas, arah reformasi /paugeran/ akan menuju terwujudnya masyarakat yang berbudaya, sejahtera, makmur serta berkeadilan. []
Pernah dipublikasikan di KOMPAS Selasa, 12-05-2015.