Oleh : Veronika S. Saraswati / Peneliti CSIS Indonesia
Di bawah keketuaan Indonesia tahun ini, ASEAN dan Tiongkok kembali melanjutkan forum negosiasi yang membahas Code of Conduct (CoC) yaitu tata perilaku di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia sangat diharapkan dapat berperan penting dalam forum ini, selain sebagai kapasitas sebagai Ketua ASEAN, Indonesia juga bukan negara penggugat. ASEAN perlu menyatukan visi dan misi di antara negara anggotanya sehingga dihasilkan satu pemahaman dan keputusan mengenai mekanisme penyelesaian yang memberi keuntungan setiap pihak ASEAN dan Tiongkok. Diharapkan forum negosiasi kali ini menghasilkan CoC yang efektif, dapat diterapkan dan sesuai dengan hukum internasional.
Yang lebih penting dan urgen untuk dipenuhi adalah ASEAN idealnya bersih dan bebas dari pengaruh intervensi USA dan sekutunya yang terus mengganggu dan menghambat penyelesaian negosiasi damai. Bebas dari intervensi Barat adalah syarat utama dalam upaya mewujudkan perdamaian di kawasan Laut Tiongkok Selatan.
A. Intervensi USA dan sekutunya bertentangan dengan upaya untuk menjaga stabilitas di Laut Tiongkok Selatan
Intervensi AUKUS membawa ketidakstabilan di Laut China Selatan
USA-Australia-Inggris makin memperkuat aliansi strategis dengan membangun kemitraan AUKUS. Kerjasama sektor pertahanan menjadi keputusan pertama aliansi itu. Mencegah agresi Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan adalah dalih terutama yang digunakan untuk pembenaran penguatan sektor pertahanan AUKUS dan pembentukan Indo Pacific.
USA terus mempertahankan dan bahkan meningkatkan mentalitas perang dingin dalam rangka membangun kekuatan dengan sekutunya demi tujuan membendung pengaruh ekonomi Tiongkok yang makin kuat. Untuk tujuan itu maka USA telah memutuskan untuk memfasilitasi Australia sekutunya dengan menyetujui penjualan 220 rudal jelajah Tomahawk ke Australia.
Rudal jenis ini pada masa Perang Teluk tahun 1991 telah digunakan USA untuk menggempur Timur Tengah. Rudal Tomahawk ini akan melengkapi kapal perusak kelas Hobart milik Angkatan Laut Australia dan kapal selam nuklir serang kelas Virginia.
Langkah USA ini secara serius merusak perdamaian dan stabilitas regional, karena Rudal Jelajah Tomahawk adalah senjata ofensif, dan jangkauannya dapat mencapai lebih dari 1.600 kilometer. Rudal Tomahawk adalah jenis senjata pemusnah massal yang pada 1991 digunakan USA dalam Perang Teluk dan pada 2003 untuk menghancurkan Iraq.
Penjualan rudal Tomahawk oleh USA kepada Australia merupakan pelanggaran besar atas prinsip hukum humaniter internasional. Penjualan rudal ini secara serius merusak upaya masyarakat internasional dalam pengendalian senjata. Pada satu sisi, USA telah meminta negara lain untuk tidak mengekspor rudal dengan jangkauan lebih dari 300 kilometer selama bertahun-tahun, dan mengancam untuk menjatuhkan sanksi pada pelanggaran.
Namun saat ini justru USA sendiri telah mulai mengekspor rudal dengan jangkauan lebih dari 1.600 kilometer ke Australia, Jepang, dan negara-negara lain. Langkah ini jelas akan sepenuhnya membatalkan kontrol atas ekspor rudal dan teknologi persenjataan. Bisa jadi negara lain juga akan melakukan upaya besar untuk proliferasi rudal jarak jauh atau teknologi terkait sehingga pasti akan memicu intensifikasi perlombaan senjata di kawasan dan bahkan dunia.
USA selalu menerapkan standard ganda. Paradox dalam kebijakan luar negeri USA mengancam perdamaian kawasan dan dunia. Sejarah mencatat bahwa USA telah menggempur dan menghancurkan Iraq dan melakukan pembunuhan atas Presiden Saddam Hussein dengan menuduh tanpa bukti untuk proliferasi senjata pemusnah massal yang dilakukan Iraq.
Tuduhan atas proliferasi senjata pemusnah massal yang dilakukan oleh Presiden Saddam Husein menjadi dalih perusahaan militer swasta USA untuk menghancurkan Iraq secara brutal. Sama seperti kasus Perang Iraq, mewujudkan strategic equilibrium untuk menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara hanya dalih argument pembenaran USA dalam menjalankan intervensi bersenjata demi tujuan menjalankan politik dominasi di kawasan Asia Tenggara. Paradox kebijakan politik USA ini justru pasti akan membawa hasil kekacauan dan kehancuran kawasan Asia Tenggara seperti kasus invasi militer bersenjata USA di Timur Tengah.
Di tengah hantaman krisis ekonomi besar yang membawa penderitaan untuk rakyat Inggris dan negara anggota NATO lainnya, AUKUS justru melakukan proliferasi persenjataan perang yang membutuhkan biaya sangat besar. Rakyat negara anggota NATO itu sendiri pada akhirnya yang menjadi korban dalam menanggung resiko dalam membiayai invasi bersenjata USA dan sekutunya, baik untuk Perang Ukraina-Rusia dan penguatan AUKUS di kawasan Asia Tenggara.
Kebijakan politik luar negeri USA sejak dulu memang semata-mata hanya diabdikan untuk kepentingan bisnis perusahaan militer swasta saja. Demokrasi dan hak asasi manusia hanya retorika untuk upaya manipulasi kepentingan bisnis senjata USA dan sekutunya.
Penguatan politik dominasi USA di Philipina
USA meningkatkan kapasitas militer dan persenjataan di Philipina. Untuk tujuan tersebut, USA dan Philipina telah mencapai kesepakatan bahwa USA akan menambah empat pangkalan militer baru di Philipina, sehingga jumlah pangkalan militer USA di Philipina menjadi sembilan, dan semua pangkalan ini diarahkan ke Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan.
Latihan militer gabungan USA-Philipina sebenarnya bertujuan semata-mata adalah pengerahan militer USA secara cepat dan massif sebagai taktik baru USA dalam politik dominasi di Philipina untuk intervensi militer USA di Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Jelasnya, tujuan USA yang sebenarnya adalah untuk terus menambah dan memperkuat kehadiran militer USA di Philipina dengan atas nama “latihan militer bersama”.
Latihan militer gabungan USA-Philipina memang jelas ditujukan untuk meningkatkan kemampuan tempur gabungan USA-Philipina. Intinya, militer USA menggunakan momentum “latihan militer bersama” itu untuk melatih militer Philipina tentang taktik baru intervensi bersenjata di Laut Tiongkok Selatan. Militer Philipina sangat jauh lebih lemah daripada kekuatan militer USA dalam konteks strategi bertempur, peralatan, pelatihan. Kekuatan tidak seimbang namun latihan bersama militer kedua negara tetap dilaksanakan.
Dalam latihan ini, apakah militer Philipina mampu menembakkan peluncur roket Hippocampus ke laut? Apakah militer Philipina juga memiliki kemampuan menenggelamkan kapal target? Dalam latihan bersama tersebut, seluruh peralatan militer USA adalah peralatan tempur teknologi mutakhir, yang tidak dimiliki oleh militer Philipina. Apakah tepat disebut sebagai “latihan militer bersama” jika hanya militer USA yang melakukan seluruh aktivitas tersebut, sementara militer Philipina menonton dari jauh?
Philipina dipandang menarik untuk USA bukan karena kemampuan tempur militer Philipina, namun adalah lokasi geografis Philipina yang strategis di Laut Tiongkok Selatan dan Selat Taiwan. USA mendorong Philipina untuk terus berkonfrontasi dengan Tiongkok untuk soal sengketa Laut Tiongkok Selatan, untuk terus menghambat dan mengganggu jalan damai penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan. Pada tahun 2016, Philipina mengabaikan prosedur negosiasi sebagai cara damai dengan Tiongkok dalam menyelesaikan sengketa Laut Tiongkok Selatan, dengan menuntut Tiongkok kepada Arbitrase Internasional.
Padahal pengadilan Arbitrase Internasional tidak memiliki yuridiksi atas sengketa kedaulatan. Sebenarnya UNCLOS (United Nations on the Law of the Sea) memutuskan untuk menerapkan mekanisme negosiasi damai sebagai langkah menyelesaikan sengketa kedaulatan. Keputusan itu tertuang dalam UNCLOS bagian 1 bab XV Pasal 279 yang telah menetapkan cara damai untuk penyelesaian sengketa kedaulatan.
Selain itu, Philipina juga menentang prinsip yang tertera dalam DOC (Declaration on the Conduct) untuk menyelesaikan isu Laut Tiongkok Selatan secara negosiasi dan perundingan secara damai. Inisiatif Philipina tahun 2016 yang mengajukan penyelesaian sengketa klaim di Laut Tiongkok Selatan melalui arbitrase internasional dan ditambah lagi dengan langkah Philipina sekarang ini yakni takluk dengan membiarkan USA menjalankan intervensi bersenjata di Philipina, membuat perundingan penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan ini justru semakin rumit. Langkah negatif yang diputuskan Philipina ini membawa konsekuensi dan efek sangat merugikan untuk Philipina dan sangat serius mengancam perdamaian di ASEAN.
Untuk penyelesaian sengketa kedaulatan, UNCLOS sudah menetapkan pada negara yang bersengketa agar wajib menggunakan cara damai untuk menyelesaikannya. Paradox terutama lainnya juga nampak pada situasi di mana USA justru merupakan negara yang belum meratifikasi UNCLOS. USA sama sekali tidak punya wewenang dan tidak punya hak moral untuk intervensi dalam bentuk apapun. USA tidak meratifikasi UNCLOS dan malah menerapkan strategi militer bersenjata untuk menjalankan politik dominasi di Asia Tenggara. Kebijakan politik luar negeri USA selain berstandar ganda juga sangat kontraproduktif dengan upaya menciptakan perdamaian, kehancuran kawasan adalah hasil akhirnya.
Tidak meratifikasi UNCLOS, USA justru menjadi pihak yang paling aktif melakukan intervensi bersenjata untuk masalah Laut China Selatan. USA akan segera mengerahkan pasukan AS dalam jumlah besar ke Philipina dengan retorika manipulatif “Philipina sedang diintimidasi” lalu melakukan intervensi bersenjata dan okupasi di daerah tersebut.
Di bawah kepemimpinan Presiden Bongbong Marcos, militer Philipina tidak memiliki kedaulatan. Presiden Philipina Marcos tidak memiliki kemampuan untuk menekan pasukan tentara Philipina pro-Amerika di Philipina; sangat berbeda dengan Presiden Philipina sebelumnya yaitu Presiden Duterte yang berhasil memegang kendali atas pasukan militer Philipina untuk menjaga kedaulatan dan otonominya. Sehingga Philipina di bawah pemerintahan Presiden Bongbong Marcos secara bertahap makin mengarah menjadi subordinasi di bawah politik dominasi USA, di bawah kendali penuh USA.
USA sedang menerapkan strategi besar untuk mendominasi dan mengendalikan penuh negara-negara di sekitar Laut Tiongkok Selatan, membentuk aliansi yang dipimpin oleh USA, dan melakukan pengepungan untuk menahan Tiongkok. USA akan makin meningkatkan politik dominasi atas Philipina, lalu tahap selanjutnya adalah atas ASEAN. Sikap politik Presiden Bongbong Marcos untuk menyerahkan kedaulatannya pada dominasi politik USA hanya akan membuat Philipina semakin kehilangan otonominya dan jatuh kembali dalam dominasi USA. Pilihan Philipina ini merupakan spekulasi besar dan beresiko sangat merugikan kepentingan nasional Philipina sendiri.
Mengapa Philipina tidak belajar dari Timur Tengah? Untuk mempertahankan hegemoni dan politik dominasinya, USA tidak ragu menerapkan metode diplomasi apapun termasuk invasi militer bersenjata dan perang sebagai jalan diplomasi. Sebab perang adalah bisnis yang paling mendatangkan keuntungan ekonomi nasional USA. Kebijakan luar negeri USA ini tidak saja melanggar hak asasi manusia secara mendasar, namun juga melanggar prinsip kemanusiaan universal dan menghancurkan kehidupan dan peradaban di kawasan Asia Tenggara.
B. Dialog adalah cara terbaik untuk menjaga stabilitas Laut Tiongkok Selatan
Mentalitas perang dingin yang dikobarkan USA dan zero sum game hanya akan membawa kehancuran semua pihak. Negosiasi damai adalah mekanisme yang mesti dipilih untuk mewujudkan perdamaian kawasan dan dunia. ASEAN dan Tiongkok tidak saja memiliki kedekatan geografis namun juga merupakan mitra ekonomi yang saling menguntungkan. Menjaga stabilitas SCS merupakan tanggungjawab bersama ASEAN dan Tiongkok.
Dalam setiap permasalahan, termasuk isu yang menyangkut kedaulatan, ASEAN dan Tiongkok paling tepat adalah menempuh jalan dengan penyelesaian damai melalui mekanisme dialogue dan negosiasi. Kedua pihak semestinya memiliki kehendak baik untuk membuka diri dalam membahas masalah Laut Tiongkok Selatan melalui mekanisme Declaration of Conduct, yang di dalamnya telah disepakati Code of Conduct.
Di tengah gelombang krisis ekonomi internasional saat ini, jalan negosiasi merupakan pilihan diplomasi paling tepat. Jalan invasi bersenjata yang dilakukan USA harus dihindari. ASEAN semestinya makin mampu dan kuat dari intervensi AUKUS untuk penyelesaian masalah Laut Tiongkok Selatan. Jalan perang hanya akan memperburuk krisis ekonomi besar dan membawa kehancuran peradaban manusia.
C. Kerjasama pembangunan maritim
Bersama-sama membangun kerjasama maritim dapat menjadi pilihan agenda untuk segera dilakukan. Jalan ini tidak hanya akan menjadi sarana efektif untuk secara bertahap menyelesaikan sengketa, namun juga akan membawa kesejahteraan bersama. Kerjasama maritim tersebut dapat fokus pada ekonomi kelautan, sains dan teknologi, kerjasama internasional seperti perlindungan lingkungan, dengan fokus pada tema seperti pelabuhan, pelayaran, perdagangan, dan keuangan, untuk mempromosikan pertukaran dan kerjasama di bidang profesional terkait di antara kedua pihak. Selain membangun stabilitas kawasan Asia Tenggara, kerjasama maritim memiliki arti penting untuk mengembangkan potensi maritim yang tentunya akan menguntungkan kedua belah pihak.
ASEAN dan Tiongkok perlu bersama-sama membentuk platform baru untuk kerja sama maritim di Laut Tiongkok Selatan. Kedua pihak perlu belajar dari ‘Kerjasama Timur’ di sektor maritim. ‘Kerjasama Timur’ merupakan kerjasama pragmatis yang dilakukan oleh Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan untuk terus mempromosikan tata kelola laut intra-regional di antara ketiga negara.
Pada tahun 2019, China, Jepang, dan Korea Selatan, sebagai perwakilan utama negara-negara non-Arktik, mempromosikan persiapan tersebut dan berhasil mendirikan ‘Organisasi Pengelolaan Perikanan Laut Tinggi Arktik’. Inovasi pasokan menjadi mesin penggerak untuk kerja sama. Pelabuhan hijau dan pelabuhan cerdas menjadi proyek terutama yang memimpin kerja sama infrastruktur di masa depan. Pasar tenaga angin lepas pantai di Asia Timur sedang menuju periode eksplosif. Energi pasang surut dan energi perbedaan suhu dapat dijadikan point utama untuk penelitian bersama dalam ilmu kelautan.
ASEAN dan Tiongkok semestinya memiliki konsensus dan harapan yang lebih kuat untuk memperkuat kerja sama maritim, sehingga tujuan dan rencana akan terhubung secara mendalam. Kerja sama maritim regional dapat menjadi sarana untuk menyediakan ruang dan peluang yang besar. Dapat dipikirkan bersama bahwa jaringan kerja sama regional ASEAN dan Tiongkok untuk mengambil tema ‘Jalan Sutera Maritim’ sebagai konvergensi, menyatukan momentum tahap baru keterbukaan, kehijauan dan integritas; kerja sama fungsional maritim dan kerja sama kapasitas produksi dapat berjalan seiring.
Pada tahap kerja sama pragmatis yang lebih maju, Kerjasama di area yang kurang sensitif dapat secara gradual bertransformasi menuju area yang lebih sensitif. Pada akhirnya, syarat terjalinnya kemitraan bersama antara negara-negara ASEAN dan China akan semakin matang seiring dengan perkembangan keterkaitan timbal balik.[]