URUMQI, Gelombang dingin di awal musim dingin yang datang tiba-tiba membuat Rebihan Mamat yang berusia 100 tahun harus dilarikan ke rumah sakit yang berjarak 10 menit dengan berkendara dari rumahnya di Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut.
Berkat rawat inap yang tepat waktu, perempuan Uighur berusia satu abad itu segera pulih dari masalah kardiovaskular yang dideritanya. Perawatan kesehatan pedesaan menanggung 80 persen tagihan medisnya dengan total sekitar 10.000 yuan (1 yuan = Rp2.261).
Rebihan Mamat berasal dari keluarga empat generasi di Distrik Midong di Urumqi, ibu kota Daerah Otonom Uighur Xinjiang.
POHON KELUARGA YANG BERKEMBANG
Lahir dari keluarga petani di wilayah Xinhe, sekitar 700 km dari Urumqi, Rebihan Mamat pernah merasakan kekurangan makanan.
“Yang kami miliki hanyalah tepung jagung,” kenang wanita itu, menambahkan bahwa orang tuanya mengalami banyak kesulitan untuk membesarkannya dan keempat saudara kandungnya.
Pada 1941, dia menikah dengan seorang petani di daerah pedesaan Urumqi. Karena kondisi medis yang buruk saat itu, dia kehilangan tiga anak pertamanya ketika mereka masih sangat muda.
“Kami tidak memiliki rumah sakit untuk melahirkan anak pada saat itu. Bayi pertama saya meninggal segera setelah dilahirkan di rumah,” kenangnya.
Sebelum berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949, Xinjiang hanya memiliki 54 institusi medis dengan 696 ranjang tidur, catat sebuah buku putih yang dirilis oleh Kantor Informasi Dewan Negara China pada September. Tingkat kematian bayi melampaui 400 per 1.000 pada 1949, ungkap buku putih itu.
Setelah berdirinya China Baru (New China), pemerintah melakukan upaya besar-besaran untuk meningkatkan layanan medis dan kesehatan di daerah perkotaan dan pedesaan. Tingkat perlindungan kesehatan bagi orang-orang dari semua kelompok etnis, termasuk kesehatan ibu, meningkat secara substansial.
Rebihan Mamat kemudian bertekad untuk memiliki anak lagi dan melahirkan seorang anak perempuan pada 1964 pada usia 43 tahun. Dia sangat menyayangi buah hatinya yang diberi nama Tunisa Sawut.
“Ibu memanjakan saya, menyimpan semua makanan enak yang ada untuk diberikan kepada saya. Bahkan hingga sekarang, dia mencoba membantu melakukan pekerjaan rumah untuk saya,” kata Tunisa Sawut, yang kini berusia 57 tahun.
Hu Zhichun, seorang pejabat senior di komisi kesehatan Xinjiang, mengatakan Xinjiang telah membangun jaringan layanan medis dan kesehatan akar rumput yang mencakup daerah perkotaan dan pedesaan. Pelayanan kesehatan masyarakat dasar disediakan secara gratis, mencakup hampir seluruh perjalanan hidup warga.
Rata-rata harapan hidup meningkat dari di bawah 30 pada 1949 menjadi 74,7 pada 2019 di wilayah tersebut, tambahnya.
Mirabanguli Wupree, kepala dokter Rumah Sakit Ibu dan Anak Urumqi, telah menyaksikan kelahiran ribuan bayi dari berbagai kelompok etnis di Urumqi.
Dia mengatakan mereka kini memiliki peralatan medis canggih dan prosedur kerja untuk membantu ibu hamil.
“Banyak wanita hamil yang menderita sakit parah dilarikan ke jalur hijau, memungkinkan mereka dirawat sebelum membayar,” katanya.
Tunisa Sawut melahirkan tiga anak laki-laki selama periode tersebut.
Putra sulungnya, Abdukadir Mamat, berprofesi sebagai penjual mobil setelah lulus dari sekolah kejuruan.
“Nenek saya sering bercerita tentang kehidupan yang sulit ketika dia masih muda, tanpa makanan dan pakaian yang layak. Sekarang, saya sering mengajaknya berkendara berkeliling, dan dia sangat bahagia seperti anak kecil,” kata Abdukadir Mamat.
Keluarga besar itu, termasuk saudara laki-laki dan perempuan dari Rebihan Mamat, kini berjumlah 65 orang.
Setelah China mengumumkan kebijakan tiga anak pada akhir Mei tahun ini, populasi di Xinjiang kemungkinan akan kian meningkat, kata Hu.
KEMAKMURAN YANG KIAN MENINGKAT
Dari tahun 1978 hingga 2020, pendapatan siap dibelanjakan (disposable income) per kapita penduduk perkotaan melonjak dari 319 yuan menjadi 34.838 yuan, dan disposable incomeper kapita penduduk pedesaan meningkat dari 119 yuan menjadi 14.056 yuan di Xinjiang. Wilayah tersebut mencapai transformasi bersejarah dari kemiskinan absolut menjadi masyarakat yang cukup makmur dalam segala hal, seperti halnya wilayah lain di seluruh China.
Abdukadir Mamat kini memiliki tiga anak, satu laki-laki dan dua perempuan. Putra sulungnya kini duduk di bangku sekolah menengah pertama, dan anak keduanya adalah murid sekolah dasar kelas dua, sementara putri bungsunya berusia tiga tahun.
Populasi Uighur meningkat dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 1,67 persen selama dua dekade pertama abad ke-21. Tingkat tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan populasi etnis minoritas di China, yang tingkatnya sebesar 0,83 persen. Pada 2020, populasi Uighur mencapai 11,62 juta jiwa.
“Ibu saya tidak pernah punya kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah. Saya putus sekolah saat SMP. Saya berharap anak-anak saya bisa melanjutkan ke jenjang diploma yang lebih tinggi,” kata Tunisa Sawut, seraya menambahkan bahwa keluarganya telah mendapat banyak manfaat dari program wajib belajar gratis di negara itu.
Berkat urbanisasi di daerah tersebut, keluarga itu pindah ke gedung tiga lantai dengan pemanas lantai bertenaga gas. Rebihan Mamat gemar menanam bunga di halaman rumahnya. “Hidup saya seindah bunga,” tuturnya.
“Malam hari adalah waktu yang paling saya suka ketika cucu dan cicit saya ada di rumah setelah bekerja dan bersekolah. Melihat mereka bermain di rumah yang nyaman adalah hal yang paling membahagiakan bagi saya,” tambahnya. [Xinhua]