— Selama beberapa dekade terakhir, Amerika Serikat telah mengobarkan atau terlibat dalam berbagai perang di seluruh dunia dengan upaya yang tiada henti untuk membangun dan mempertahankan hegemoni.
— Alih-alih mengakui hak warga Pribumi Amerika atau Indian setelah Perang Revolusi, pemerintah federal AS justru memulai kampanye selama satu abad untuk mengeliminasi mereka.
— Menurut data Universitas Brown, Pentagon telah menghabiskan lebih dari 14 triliun dolar AS sejak dimulainya Perang Afghanistan, dan sepertiga hingga setengahnya jatuh ke tangan kontraktor pertahanan pencari profit.
WASHINGTON/JENEWA, Bukalah buku apa saja tentang sejarah Amerika, dan akan sulit bagi Anda untuk menemukan periode waktu yang panjang ketika negara tersebut sedang tidak terlibat konflik. Mantan presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter dengan lugas menyebut negaranya sebagai “negara yang paling suka berperang dalam sejarah dunia.”
Konteks historis, komersial, dan geopolitik ada di balik nafsu untuk berperang, yang digunakan oleh AS untuk meraih kemerdekaan, kepentingan, dan pengaruh. Selama beberapa dekade terakhir, negara ini telah mengobarkan atau terlibat dalam berbagai perang di seluruh dunia dengan upaya yang tiada henti untuk membangun dan mempertahankan hegemoni.
Menurut diagnosis sejarawan dan akademisi, AS telah bermetamorfosis menjadi sebuah mesin perang abadi yang hidup dan mengeruk keuntungan dari perang, dengan kompleks militer bergaya industri yang kuat bertanggung jawab atas perang-perang AS dan media berperan untuk membenarkan kebijakan pemerintah serta memperindah tindakannya, sehingga melahirkan maniak perang yang tidak dapat disembuhkan.
HIDUP DARI PERANG
“Negara kita lahir dari genosida,” tulis ikon hak asasi manusia Amerika Martin Luther King Jr. di dalam bukunya yang terbit pada 1963 berjudul “Why We Can’t Wait”. “Kita mungkin satu-satunya bangsa yang mencoba menggunakan kebijakan nasional untuk menghapus penduduk pribumi.”
Amerika Serikat didirikan di 13 koloni Inggris di Amerika Utara tempat orang-orang pribumi, beberapa di antaranya turut membantu warga Eropa pertama mendiami benua tersebut, telah hidup selama ribuan tahun. Namun, alih-alih mengakui hak warga Pribumi Amerika atau Indian setelah Perang Revolusi, pemerintah federal AS justru memulai kampanye selama satu abad untuk mengeliminasi mereka.
“Kami membantai mereka,” kata Alfred-Maurice de Zayas, seorang sejarawan keturunan Amerika-Swiss sekaligus mantan pakar independen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait promosi tatanan internasional yang demokratis dan adil, kepada Xinhua dalam sebuah wawancara di Jenewa, Swiss. “Kami menggambarkan warga Indian sebagai orang jahat. Kami menyebut mereka setan. Kami menyebut mereka serigala … dan jika Anda menjelek-jelekkan rival Anda, jauh lebih mudah untuk membunuh mereka.”
Dalam Ekspansi Ke Barat di bawah apa yang disebut sebagai Takdir Nyata (Manifest Destiny), sebuah doktrin pada abad ke-19 yang meyakini bahwa Amerika ditakdirkan untuk meluas melintasi benua, AS memperluas perbatasan baratnya hingga Samudra Pasifik setelah melakukan serangkaian pembelian dan pencaplokan tanah, serta memperoleh wilayah yang signifikan pasca-Perang Meksiko-Amerika pada 1840-an.
“Perluasan wilayah AS dari 1789 hingga 1854, dari Samudra Atlantik hingga Samudra Pasifik, menjadi ekspansi paling cepat dan ekstensif dalam sejarah manusia,” kata Paul Atwood, dosen senior Studi Amerika di Universitas Massachusetts, Boston, berargumen dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada 2003 dengan judul “War is the American way of life”. “Perang ini dilakukan menggunakan kekerasan bersenjata dengan hasil genosida.”
Pada 1890-an, AS mulai secara aktif mengupayakan ekspansi ke luar negeri, beberapa dekade setelah Perang Sipil membuat tujuan kebijakan luar negeri Amerika tertunda, usai para pejabat pemerintahan senior meyakini bahwa negara mereka berhak bersaing untuk “supremasi komersial dan angkatan laut di Samudra Pasifik dan Timur Jauh,” menurut mendiang Julius Pratt, sejarawan Amerika dengan spesialisasi hubungan luar negeri dan imperialisme.
Amerika Serikat menjadi kekuatan Pasifik setelah perang 1898 dengan Spanyol, dengan klaim teritorial baru yang membentang dari Karibia hingga Asia Tenggara, dan kemudian meningkat menjadi kekuatan adidaya setelah Perang Dunia II. “Kita mengatakan kepada diri kita sendiri bahwa kita bangkit dari perang ini sebagai negara paling kuat di dunia,” kata Harry Truman, presiden AS saat itu, dalam sebuah pidato dari Gedung Putih pada 9 Agustus 1945.
Selama beberapa dekade, Amerika Serikat dengan militernya yang kuat melakukan intervensi atau mengobarkan suksesi perang yang signifikan, termasuk Perang Korea, Perang Vietnam, dan Perang Teluk, sembari memicu atau terlibat dalam banyak operasi terbuka maupun terselubung.
Kampanye global “Perang Melawan Teror”, yang diluncurkan Amerika Serikat untuk merespons serangan 11 September 2001, diperluas hingga ke 85 negara, sebuah angka yang cukup mencengangkan, dalam kurun waktu 2018 hingga 2020. Negara adidaya ini mengendalikan sekitar 750 pangkalan militer di setidaknya 80 negara di seluruh dunia serta membelanjakan banyak dana untuk angkatan bersenjatanya dengan angka yang lebih besar dibandingkan gabungan 10 negara dalam peringkat berikutnya, menurut temuan studi.
“Status perang ini menjadi norma dalam sejarah AS,” seperti disimpulkan oleh penulis sekaligus profesor antropologi politik David Vine di dalam bukunya yang terbit pada 2020 berjudul “The United States of War: A Global History of America’s Endless Conflicts, from Columbus to the Islamic State”.
Menurut Congressional Research Service, sebuah institut riset kebijakan publik Kongres AS, pasukan Amerika berperang, terlibat dalam pertempuran, atau menyerbu negara lain di sepanjang sejarah eksistensinya, kecuali selama periode kurang dari 20 tahun. “Rakyat Amerika Serikat bisa dibilang tidak pernah dalam situasi damai,” komentar Nikhil Pal Singh, seorang profesor sejarah dan analisis sosial dan budaya di Universitas New York.
MESIN PERANG
“Dalam dewan-dewan pemerintahan, kita harus mewaspadai akuisisi pengaruh yang tidak berdasar, baik dicari maupun tidak, oleh kompleks industri militer.” kata Dwight Eisenhower, yang kala itu menjabat sebagai presiden AS, di dalam pidato terakhirnya di Gedung Putih pada 17 Januari 1961. “Potensi munculnya petaka dari kekuatan yang tidak pada tempatnya itu ada, dan akan terus ada.
Meskipun sudah diperingatkan Eisenhower, penggabungan yang tangguh antara militer, kontraktor pertahanan swasta, dan pemerintah tumbuh semakin kuat dan terjalin erat. Daniel Kovalik, Adjunct Professor hukum di Universitas Pittsburgh, mengatakan kepada Xinhua dalam wawancara melalui tautan video bahwa kepentingan pribadi yang luar biasa besar yang dibicarakan oleh pensiunan jenderal Angkatan Darat bintang lima tersebut saat itu “tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang terjadi sekarang.”
Menurut data Universitas Brown, Pentagon telah menghabiskan lebih dari 14 triliun dolar AS sejak dimulainya Perang Afghanistan, dan sepertiga hingga setengahnya jatuh ke tangan kontraktor pertahanan pencari profit. Sementara itu, selama dua dekade terakhir, produsen senjata diperkirakan telah menghabiskan lebih dari 2,5 miliar dolar untuk melobi, mempekerjakan ratusan pelobi per tahun.
Selain itu, karena perputaran pergantian pejabat, para petinggi Pentagon sering kali meninggalkan pekerjaannya di kursi pemerintahan untuk bekerja dengan kontraktor pertahanan sebagai pelobi, anggota dewan, eksekutif, atau konsultan.
Kovalik mengatakan bahwa kondisi itu menjelaskan alasan mengapa perang AS di Afghanistan, yang berakhir setelah penarikan pasukan yang terburu-buru pada akhir Agustus lalu, berlangsung selama hampir 20 tahun.
“Karena perusahaan industri pertahanan yang membuat bom, membuat pesawat, membuat kendaraan, serta kontraktor militer swasta yang kini berperang menggantikan personel militer reguler, mereka menghasilkan triliunan dolar selama perang terus berlanjut,” jelasnya. “Jadi, mereka tidak peduli apakah perang berhasil dimenangkan, tujuannya adalah perang terus berlanjut selamanya.”
De Zayas juga mengecam operasi intelijen dan media AS karena menyebarkan informasi dan berita palsu untuk menyebut maupun mempermalukan targetnya serta memicu ketidakpuasan publik sebelum dan selama intervensi. Keamanan nasional, demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia, dan kemanusiaan digunakan sebagai tema narasi yang mereka coba ciptakan dan promosikan.
“Idenya adalah untuk membius masyarakat sehingga mereka menerima perubahan rezim, dan mereka menerima intervensi militer untuk mencapai perubahan rezim.” tuturnya.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan The Washington Post pada September lalu, Katrina vanden Heuvel, direktur editorial dan penerbit majalah AS The Nation, menulis bahwa “luasnya pengaruh yang halus dari kompleks militer-industri tersebut, yang pada suatu titik mungkin lebih tepat disebut sebagai kompleks militer-industri-kongres-media, membuat pembongkaran sistem ini tampak mustahil dilakukan.”
KERUSAKAN BAGI DUNIA
The New York Times menerbitkan sebuah laporan investigatif pada November lalu. Laporan tersebut memaparkan bahwa militer AS menutup-nutupi serangan udara 2019 yang menewaskan sampai dengan 64 wanita dan anak-anak di Suriah. Pembeberan tersebut disampaikan kurang dari dua bulan setelah Pentagon mengakui bahwa serangan droneterakhir AS sebelum pasukan Amerika keluar dari Afghanistan secara tidak sengaja menewaskan 10 warga sipil, termasuk tujuh anak-anak.
Sayangnya, kemungkinan kejahatan perang seperti ini mungkin akan dilupakan dengan cepat karena tampaknya tidak ada yang dapat menuntut pertanggungjawaban AS. Ketika Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) berupaya menyelidiki personel Amerika yang diduga melakukan tindak kriminal di Afghanistan beberapa tahun lalu, pemerintah AS menanggapi dengan menjatuhkan sanksi atas para pejabat ICC dan mengancam akan mengambil lebih banyak tindakan terhadap badan peradilan yang berbasis di Den Haag, Belanda, tersebut.
Namun demikian, kematian warga sipil ini hanyalah sedikit dari konsekuensi tragis yang ditimbulkan oleh serangan droneAmerika yang tidak terusut di Afghanistan, Irak, Pakistan, Suriah, dan Yaman. Mereka juga hanya setitik dari jumlah korban jiwa sebenarnya yang diakibatkan oleh adiksi Washington terhadap kekerasan dan perang dalam upayanya mengejar sumber daya, pengaruh geopolitik, dan hegemoni. Perang pasca-9/11 saja dilaporkan telah menewaskan lebih dari 900.000 jiwa.
Sementara itu, “perang tiada akhir” telah meluluhlantakkan banyak negara dan kota, mengakibatkan kekacauan atas kompleksitas politik, ekonomi, dan sosial yang menghambat pembangunan kembali dan kebangkitan ekonomi maupun peradaban. “Jika kami tidak dapat menggulingkan Anda, kami akan menghancurkan Anda,” ujar Kovalik. “Itulah yang dilakukan AS berulang kali.
Ketika pasukan AS mundur dari Perang Vietnam, mereka meninggalkan tanah yang hancur dan dipenuhi jutaan ranjau darat serta peluru artileri yang tidak meledak, yang juga ditanduskan oleh jutaan galon Agen Oranye, sebuah herbisida mematikan yang menyebabkan kanker, kerusakan saraf, dan cacat lahir. Sejak 1975, lebih dari 40.000 warga Vietnam tewas akibat sisa-sisa perang yang mematikan tersebut, dan lebih dari 60.000 lainnya luka-luka.
Di Afghanistan, perang puluhan tahun tidak saja menghancurkan negara itu tetapi juga membuat rakyatnya mengalami trauma. Organisasi Psikososial Internasional, sebuah lembaga nirlaba, pada 2019 melaporkan bahwa 70 persen populasi negara tersebut membutuhkan dukungan psikologis.
“Angka tentu bisa memberi tahu kita banyak hal. Namun dengan cepat, angka-angka tersebut bisa membuat kita mati rasa. Pada akhirnya, tidak ada cara yang memadai untuk mengukur dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan perang-perang tersebut terhadap semua orang di negara-negara yang terdampak,” tekan Vine, yang juga seorang asisten profesor di Universitas Amerika, di dalam bukunya.
“Jajak pendapat internasional menunjukkan bahwa opini dunia menganggap AS sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian dunia, bahkan tidak ada negara lain yang mendekatinya,” tutur ahli bahasa kenamaan Amerika yang juga kritikus kebijakan luar negeri Noam Chomsky dalam sebuah wawancara dengan majalah AS CounterPunch pada Agustus lalu.
Apa yang dirujuk oleh Chomsky tampaknya adalah survei global yang dilakukan oleh World Independent Network dan Gallup pada 2013. Dalam survei tersebut, responden dari 60 lebih negara mengatakan Amerika Serikat adalah ancaman paling signifikan bagi perdamaian dunia. Sementara itu, survei Pew pada 2017 menunjukkan bahwa 39 persen responden di 38 negara menganggap pengaruh dan kekuatan Amerika merupakan ancaman besar bagi negara mereka.
“Amerika tidak pernah peduli untuk membantu mereka yang kami berpura-pura ‘menyelamatkan’ (mereka) dengan perang-perang ini. Untuk alasan itu saja, Amerika tidak pernah mendapat dukungan luas dari penduduk lokal yang sebenarnya sangat penting bagi keberhasilan apa pun dalam perang yang salah arah ini,” tulis Jeffrey Sachs, ekonom Amerika yang juga analis kebijakan publik, dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh The Boston Globe pada September lalu.
“Negara kami sudah berperang selama berabad-abad,” lanjut Sachs. “Apakah Amerika Serikat akan mengadopsi kebijakan luar negeri baru atas dasar perdamaian dan penyelesaian masalah? Itulah pertanyaan yang sesungguhnya.” Selesai
(Reporter video: Chen Junxia, Xu Chi, Liu Yang, Li Li, Sun Ding; editor video: Li Li, Wang Yujue)